Skenario.

Pasti ada masa-masa, kita merencanakan jadwal harian dengan sangat hati-hati dan penuh perhitungan matang. Ya, setidaknya menurut kita. Pagi-pagi sekali kita sudah menyiapkan banyak hal, mengerjakan tugas harian sebelum pergi melanjutkan kewajiban lainnya.

Sebut saja, misalnya saja, mengantar Bapak check up ke dokter spesialis (curhat jadinya? Eh, bukan). Kita yamg sudah tidak serumah dengan orang tua sebab sudah menikah dan hidup terpisah, berencana mengurus berkas check up terlebih dulu. Alih-alih Bapak tidak lelah menunggu antrian, ternyata memang antriannya lumayan panjang.

Ketika pulang dan memesan taksi online, kenyataan berikutnya harus dihadapi. Ketahuilah, bahwa taksi online yang memiliki slogan ‘pergi tanpa ribet’ (misalnya) tak selamanya bisa diandalkan. Berkali-kali dicoba, driverpun tidak kunjung dapat.

Meringis jadinya. Menahan tangis. Akhirnya emosi kita mulai memenuhi diri kan? Dikejar waktu, tapi waktu tidak mau menunggu kita. Niat mulia memudahkan dan tidak membuat Bapak lelah, seakan-akan dipersulit. Ditahan-tahan.

Maka, ketika kita memutuskan memesan taksi secara langsung dan mantab melanjutkan perjalanan, sepanjang jalan yang ada hanyalah istighfar dan munajat.

Semoga saja, semoga saja. Semoga Allah mudahkan.

Sesampainya di tujuan, kenyataan berikutnya adalah jadwal dokter sudah selesai. Sudah bubar. Ruangan check up hanya berpenghuni meja, kursi dan ranjang.

Kecewa? Iya.

Sedih? Iya.

Lihatlah wajah Bapak, oh Allah..

Rencana yang kita susun, berantakan. Niat yang kita teguhkan, tidak diloloskan. Bapak akhirnya lelah. Kecewa.

Apa sebenarnya hikmah di baliknya?

Skenario Allah lah yang paling akurat. Kita hanya berhak berencana, tapi yang menentukan sebuah kepastian bukan kita, tapi Allah. Sebaik-baik perencanaan, jika Allah tidak ridha, maka tidak akan terealisasi. Bisa jadi ada kelalaian dari diri kita,

Sudahkah meminta dimudahkan dalam segala urusan di pagi hari?

Sudahkah kita dzikir pagi?

Bagaimana dengan shalat sunnah pagi?

Dan yang lain.

*bapak, maafkan.

(rumah masa kecil, di pinggir sungai, 15/10)

Aku Sangat Beruntung.

Beberapa hari ini aku merasa sangat beruntung. Sebenarnya, pernah ada masa-masa seperti ini, tapi tidak lama. Aku bahagia, tapi lebih bahagia lagi jika keadaan kembali seperti semula.

Aku sangat beruntung, sebab Allah memberikan kesempatan untuk lama-lama menatap wajahmu di malam hari.
Memijitmu sebelum tidur, karena kamu sedang tidak baik sejak beberapa hari yang lalu.

Ternyata, wajah di depanku adalah wajah lelah seharian menjemput rezeki, meskipun hujan mulai setiap hari menemani.
Ternyata, tangan sejak tadi aku pegang adalah tangan yang tidak pernah berhenti menjadi penguat.
Ternyata, selama ini aku lebih banyak membandingkan peranku dan peran pemilik punggung lebar ini.

Aku sangat beruntung memiliki kamu,
Aku sangat bersyukur dipersatukan dengan kamu.
Langit, tetaplah lapan dan tegar bersamaku.

Hujan sudah mulai turun seharian,
Banjarnegara, 20 Oktober 2020

Satu Lagi; Tentang Tabungan Kebaikan.

Jpeg

Hari ini seharusnya bimbingan, tapi digagalkan oleh sebuah ketidaksiapan. Memang belum saatnya. Semoga besok aku bisa menepati perkataanku yang terdengar seperti sebuah janji.

Belajar berbahagia dalam kebahagiaan orang lain.

Sesuatu yang berat dilakukan, namun  indah dalam balasan. Kata seorang ustad bernama ustad Erik, jika kita menginginkan jawaban-jawaban atas ujian-ujian yang sedang kita alami, maka kita harus banyak-banyak menabung.

Sederhananya, ketika kita meminta kemudahan dalam melewati ujian, apakah kita memiliki tabungan memudahkan orang lain?
Jika sudah, maka kita aman.

Tapi, jika kita sama sekali tidak berpunya, jangan harap ada kemudahan-kemudahan yang diberikan.

Satu lagi,

Allah meminta agar kita bersabar dalam menanti ketetapan dariNya.

“ Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Tuhanmu,
Karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami,
Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika engkau bangun,
Dan pada sebagian malam bertasbihlah kepadaNya dan (juga) pada waktu terbenamnya bintang-bintang (pada waktu fajar).

Qur’an surah at Thuur 48-49

[D]

Jogja,
#16, 21 Juni 2016

Suatu hari di Ramadhan yang terlewati.

Jpeg

Jadilah gadis yang baik.
Jadilah gadis yang shalihah.
Maka, kau akan bertemu dengan lelaki yang baik.
Kau akan dipersatukan dengan lelaki yang shalih juga.

Mulai petang aku banyak memikirkan banyak hal tentang masa depan. Aku senang mendengar adik-adik bercengkraman dengan salah satu sahabat, setiap kali dia pulang atau adik-adik yang baru saja sampai di rumah. Ramai, riuh. Terdengar menyenangkan. Tapi, terkadang terdengar sumbang di telingaku, lalu terasa memilukan di hati.

Ya benar… sebab aku tidak bisa seperti dia yang setiap hari dirindui. Setiap kepergiannya maka akan dicari, setiap kepulangannya selalu dinanti. Tidak sepertiku yang pulang berhari-hari dan sesampainya di rumah, tidak ada riuh yang menyambut dan tiada ramah tamah. Mereka terlalu mengerti aku yang ingin segera merebah. Tapi sungguh, ada yang lebih ingin aku dengarkan; ramainya mereka sekembalinya aku di rumah.
Lalu.. itu semua tidak ada.

Dalam kesibukan meracik bumbu dan menyiapkan masakan, bibirku mengalun beberapa surah yang sedang aku hafalkan. Aku memang sedang memancing beberapa ingatan, tapi mungkin aku salah umpan, ada ingatan berat yang tiba-tiba datang.

Tentang…
Teman hidup?
Iya.. teman hidup.
Lelaki macam apa yang mau mengkhitbahku?
Lelaki macam apa yang mau melamarku?
Lelaki macam apa yang mau menikahiku?
Lelaki macam apa yang mau mengorbankan hidupnya,
dengan hidup bersamaku?
Lelaki macam apa yang mau mengajakku
berjalan bersama menuju surga?

Lelaki macam apa?
Sedang, aku adalah gadis yang seperti ini..

Semoga dia adalah lelaki penyabar, lelaki santun, lelaki shalih, lelaki yang amat mencintai ibu dan bapaknya; Allah dan Rasulnya, lelaki cerdas, lelaki sederhana, lelaki yang terbaik untuk aku, gadis yang seperti ini.

Aamiin yaa Rabb.

Aku sudahi, hujan baru saja datang di sini.

[D]

 

Jogja waktu itu. Ramadhan.
#02, 7 Juni 2016

Curhatan di tengah malam.

IMG_20170314_210832

Udah selese qadha’ puasa dan nyawal?

Mm..
Malam ini mau kontemplasi apa ya?
Menjelang buka puasa tadi mungkin sedikit melahirkan hikmah. Ada sebuah percakapan dengan kakak, intinya kekurangsepakatannya tentang keputusan salah satu adiknya. Mba sih hanya ‘iya-iya’, sambil protes dalam hati sebenarnya.. pada akhirnya, karena perkataannya yang semakin tidak mengenakkan, jadinya protes secara nyata.

Ya, banyak hal-hal di luar kesepakatan hati dan keinginan kita terjadi dalam hidup kita. Ada juga yang terealisasi sebab keputusan dan prinsip hidup yang kita jalani. Tapi, semua itu tidak begitu saja terjadi, ada campur tangan Allah.

Kan, sudah dikabarkan kalau; apa-apa yang sudah ditetapkan menimpa kita ya pasti akan menimpa kita, sedangkan yang ditetapkan tidak menimpa kita ya tidak akan menimpa kita.
Sesimpel itu memahami takdir ya sebenarnya?
Tapi, yang suka sekali berontak itu ya hati kita.

Kalau keimanan kita tidak benar-benar dijaga dan ditumbuhkan, maka memahami takdir pun akan sangat sulit. Misalnya, kita inginnya jadi juara satu, tapi nyatanya kita ga dapet apa-apa, padahal biasanya jadi nomor satu. Kita berontak, kita ga terima. Meskipun di luar biasa saja, tapi hati kita mungkin butuh beberapa waktu untuk kembali dingin.

Sebaiknya kita benar-benar memahami dan mentadabburi surat al Ikhlash.. bahwa Allahlah yang mahamengurus segala sesuatunya. Hanya Allah. Kita punya urusan, serahkan ke Allah. Kita bingung tentang keputusan, kembalikan ke Allah.
Iya, ga?

Endingnya..
Masalah, ujian dan cobaan hidup itu ada untuk melahirkan hikmah, kemudian hikmah akan lebih mendewasakan kita.

Selamat menjadi shalihah…

Depok, 20 Juli 2017

Jelang tengah malam. Malamnya Depok dingin.

 

Sudah Dua Kali.

IMG_20161217_192726

Sudah dua kali ini. Dua hari memimpikan Bapak. Tidak ada bedanya dengan Bapak di dunia nyata, masih sama-sama Bapak yang keukeuh jika punya keinginan.

Apa kabar Bapak?

Beberapa bulan yang lalu, telah berpamitan untuk mencari pengganti Ibu. Aku bilang itu jawaban yang sulit.

Pak, Ibu selamanya tidak akan bisa digantikan dan tergantikan.

Bapak tetap keukeuh. Katanya lagi, supaya ada yang mengurus di rumah, supaya tidak kurus kering.

Baiklah. Aku mencoba memahami. Bapak lebih tahu.

Beberapa bulan kemudian. Setelah keadaan berubah.

” Bapak kok tambah kurus?”

Jawaban Bapak waktu itu membuat anak-anaknya Bapak merasa bersalah. Sebab, sudah besar-besar, sudah akan berdiri sendiri, tapi Bapak masih membutuhkan di sisi. Ternyata, yang mengisi kekosongan Ibu di rumah tidak cukup.

Anak-anak Bapak yang jauh, semoga bisa segera pulang. Kalau tidak bisa satu kali setiap bulannya, paling tidak satu kali setiap tahunnya. Orang tua akan selalu setia menanti kepulangan anak-anaknya dari tanah rantau. Jauh atau dekat. Lama atau sebentar. Sudah menjadi resiko jika tanah rantauan jauh, memiliki banyak anak atau biaya perjalanan yang tinggi. Itu sudah resiko baktinya seorang anak terhadap orang tuanya.

Semakin senja, semakin kuat penantian, orang tua terhadap anaknya.

Rabbighfirli wali wali dayya warhamhuma kama rabbayani shaghira. 

Aamiin.

 

*mendungnya Depok, 23 Juni 2017. 07:09

 

Selembar Doa.

dsc_1454.jpg

Pada suatu sore di masa lalu, ada dua manusia sedang duduk di teras rumah. Berdua saja. Ditemani secangkir teh dan secangkir kopi.
Hujan merintik.

Keduanya masih saling diam. Menikmati hujan dengan cara mereka sendiri. Diam dalam diam. Diam dalam menatap lamat-lamat wajah manusia yang di depannya.

” Memangnya hujan sebegitunya harus diperhatikan?”

” Eh?”

” Iya, teh kamu sampai dingin.”

Wanita berlesung pipit itu tersenyum malu. Lupa kalau dia tidak hanya berdua dengan hujan, tapi ada lelakinya bersama mereka. Satu seruputan teh.

” Aku sepertinya perlu berubah jadi hujan.”

” Lha, kenapa?”

” Iya, supaya bisa kamu lihat terus kaya tadi.”

” Abang!” Dicubitnya lelaki berkacamata di depannya. Kemudian, kembali tenggelam menikmati hujan.

” Haha.”

Lelaki itu ikut bersama wanitanya. Diam memandangi wanitanya lagi. Tapi, diamnya sedang menyusun selembar do’a kebaikan dan kebahagiaan untuk mereka berdua.

Baginya, hidupnya tidak seutuh ini tanpa kehadiran wanitanya.

Takdir Allah itu sangat indah.

Hujan masih turun. Kopinya sudah mulai dingin.

*Depok, 22 Juni 2017

 

Hujan dan Anak Kecil di Depan Puskesmas.

Aku hanya, tiba-tiba saja ingat anak kecil yang tadi tidak sengaja aku lihat di depan puskesmas. Duduk dekat gerbang. Aku kira dia sendirian. Ternyata tidak, dia bersama kedua bapak ibunya. Rupa keduanya kusam, pakaian mereka lusuh. Kau sudah bisa menebaknya, profesi apa yang sedang mereka jalani.

Aku hanya, tiba-tiba ingat anak kecil itu.
Sebab setibanya di rumah, langit tumpah. Sejak tadi memang angin dingin sudah lebih dulu tiba. Hujan datang menyusul.

Mereka.. apa sudah mencari tempat untuk berteduh?
Pulang kemana kah rumahnya?


Depok, hujan malam-malam.
18 Juni 2017/23 Ramadhan 1438

 

Shalih (lagi)

Malam ini menegangkan.
Sedangkan, tadi pagi sebaliknya, membuat sekujur badan lemas.
Sebabnya, ada kabar tentang kepergian. Yang baru datang sudah sesenggukan, yang didatangi kebingungan.

” Ada apa?”

Aku mengajukan pertanyaan itu dua kali, kepada yang datang dan kepada hati diri sendiri. Ternyata aku tidak jagoan dalam menebak. Alasan kedatangannya adalah sebab ditinggal pergi. Aku yang menguatkan, akhirnya mengikutinya sesenggukan. Sambil mata memandang langit.

Ah.. langit Depok sangat biru pagi ini.
Tapi kabar yang datang sebaliknya, mendung pucat.

Kembali ke malam ini yang..
Sebentar lagi menyambut kehadiran.
Insyaallah shalih lagi.
Shalihahnya menyusul yang kelima atau keenam.

” Kuat ya, Ayundaku. Kamu seperti Ibu. Aku sama sekali tidak khawatir.”

Ini benar-benar pengalaman pertama menemani seseorang yang akan melahirkan. Dulu-dulu, aku sama sekali tidak menemui adik-adikku lahir. Tahu-tahu mereka sudah tidur nyenyak di tempat tidur yang sama. Ibu senyum-senyum lemas.

Malam ini aku pura-pura.
Pura-pura biasa saja dan kalem. Padahal dalam hati sudah heboh sendiri. Berbagai pikiran menghampiri.
Dan sampailah pada pertanyaan,

” Bagaimana perasaan papahnya ponakan-ponakan?”

” Bagaimana aku nanti ya? Sekarang saja sudah grogi.”

Sebab ayundaku terlihat begitu menahan sakit. Kata Ibu, sakitnya melahirkan memang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun.

Ini malam keduapuluhlima. Sudah penghujung Ramadhan.
Semoga banyak doa-doa kebaikan yang menembus langit.

*berjaga, tiga krucil sudah tidur pulas, ayunda sedang kesakitan.
Depok, 20 Juni 2017

 

Categories Ibu

Setiap Hari adalah Milik Ibu.

IMG_6753

April.
Pada masa silam, bulan ini adalah bulan yang paling ditunggu-tunggu setelah Ramadhan dan Syawal. Kami, anak-anaknya Ibu akan berebut menggantikan pekerjaan Ibu sehari-hari. Hari itu adalah hari libur Ibu, kecuali ke sekolah, Ibu akan tetap berangkat untuk mengajar.

Anak gadisnya Ibu selalu berbagi tugas bab dapur, kebersihan dan siapa yang akan menjaga adik-adik. Mba Ida, selalu mendapat jatah dapur. Semua tentang dapur memang selalu menjadi jagonya anak pertama, terlebih perempuan. Rasa-rasanya tidak afdhal, kalau anak perempuan apalagi anak pertama tetapi tidak jagoan masalah masak-memasak. Anak gadis Ibu yang kedua adalah mba Farah, paling susah untuk mengerjakan ini itu. Tapi, khusus di harinya Ibu, mau tidak mau harus mendapat jatah; kebersihan. Urusan ketiga lelaki kecil kami, tentu saja aku yang mengurusnya, meskipun masih ‘belepotan’. Utamanya adalah kami semua ingin menggantikan tugas Ibu.

April.
Pada masa sekarang, kami tidak kuasa melakukan itu lagi. Sebab, tepatnya hari ini adalah harinya Ibu. Tapi, Ibu berada di alam yang lain. Tidak ada lagi di dunia yang sama dengan kami. Hari ini aku pun hanya bisa mengenang. Setiap harinya hanya mengenang tentang Ibu.

April.
Dulu, setiap ba’da shalat malam aku menyempatkan mengirim pesan singkat untuk Ibu.

;
Baarakallahu fii umrik, Ibu tercinta.
Semoga Allah memberkahi sisa usia Ibu dan segala urusan Ibu diridhai olehNya.
Terimakasih sudah melahirkan Desi dengan susah payah.
Maafkan Desi, Bu. Sebesar ini, anak gadis Ibu belum mampu membahagiakan Ibu.
Sehat-sehat, Ibu sayang.
Desi mencintai Ibu karena Allah.

Begitu itu.
Anak gadisnya Ibu selalu tidak lupa menutup pesannya dengan: uhibbuki fillah, Bu. Pada bagian ini, setelah selesai mengetik, pasti sudah mengalir bulir hangat dari ujung mata. Sudah tidak kuat lagi membendung. Rasanya, sudah begitu banyak kekuatan yang Allah berikan kepadaku dan anak-anak Ibu yang lain melalui tangan lembut serta senyuman hangat Ibu.

Apa kabar April ini?
Sepi.
Tidak ada bincang tentang Ibu, kecuali senja tadi bersama mba Ida. Tapi, aku yakin doa-doa untuk Ibu tidak pernah sepi.

April adalah bulan mengenang.
Sedangkan hari-hari di bulan selain April adalah hari mengingat pesan-pesan Ibu.

Iya, setiap hari adalah milik Ibu.

Semua anak-anak Ibu menyayangi Ibu lebih dari apapun. Meskipun tidak mungkin menyamai sayangnya Ibu untuk kami. Semoga Ibu diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah. Allahummaghfirlaha warhamha wa’afiha wa’fu ‘anha.

*Malamnya Depok. 05 April 2017